JAKARTA - Sudah cukup lama beberapa pabrikan dan tim balap memanfaatkan potensi serat karbon demi mengurangi bobot kendaraan dan meningkatkan performa. Material ajaib ini juga sukses memangkas bobot kendaraan super mewah sekaligus tampil lebih ekslusif sebut saja mulai dari Aston Martin Valkyrie, Pininfarina Battista, McLaren Speedtail, Lexus LFA, hingga Koenigsegg Agera RS.

Meskipun memiliki banyak keunggulan, biaya produksi dan tantangan dalam proses daur ulang serat karbon menjadi perhatian utama.

Baru-baru ini, kabar mengejutkan datang dari Benua Biru. Sebuah laporan terbaru mengindikasikan bahwa Uni Eropa (UE) tengah mempertimbangkan larangan terhadap penggunaan serat karbon pada mobil. Jika benar terealisasi, langkah ini bukan hanya akan mengubah lanskap industri otomotif, tetapi juga berpotensi merembet ke sektor lain yang mengandalkan material revolusioner ini.

Melansir Carbuzz, Rabu, 16 April, kabar ini pertama kali mencuat melalui laporan dari Nikkei Asia yang mengungkap adanya potensi perubahan pada End of Life Vehicles Directive (ELV) milik UE. Arahan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan proses daur ulang kendaraan di akhir masa pakainya. Namun, draf amandemen terbaru justru memasukkan serat karbon ke dalam daftar material berbahaya, bersanding dengan zat-zat beracun seperti timbal, merkuri, kadmium, dan kromium heksavalen.

Serat karbon di Aston Martin Valkyrie

Lantas, apa yang membuat UE khawatir dengan serat karbon? Rupanya, kekhawatiran utama terletak pada dampak lingkungan dan kesehatan saat material ini dibuang. Ketika komponen serat karbon retak atau hancur, serat-serat halus karbon dapat terlepas ke udara. Laporan menyebutkan bahwa serpihan mikroskopis ini dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan selaput lendir manusia. Lebih jauh lagi, sifat konduktifnya berpotensi menyebabkan korsleting pada mesin dan perangkat elektronik.

Sejarah mencatat, larangan material berbahaya seperti timbal dan merkuri dalam industri otomotif di masa lalu seringkali berimbas pada pelarangan di sektor lain. Inilah yang kini menjadi momok bagi para produsen serat karbon. Mereka khawatir, jika larangan ini diterapkan pada mobil, dampaknya bisa meluas ke industri energi angin (bilah turbin) hingga kedirgantaraan (rangka dan sayap pesawat modern seperti Airbus A350 XWB dan Boeing 787) yang notabene sangat bergantung pada keunggulan serat karbon.

Meskipun penggunaan serat karbon di sektor otomotif diperkirakan hanya menyumbang 10-20% dari total penggunaan material ini secara global, dampaknya terhadap industri sangat signifikan. Terlebih lagi, dengan tren elektrifikasi yang semakin menguat, mobil listrik yang ringan menjadi kunci untuk mencapai jarak tempuh yang lebih jauh dan jejak karbon yang lebih rendah. Kehilangan serat karbon sebagai opsi material ringan tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para produsen mobil.

Saat ini, draf amandemen ini masih dalam tahap awal dan belum dibahas oleh Parlemen Eropa maupun Komisi Eropa. Tentunya, upaya untuk memberlakukan aturan baru ini akan menghadapi perlawanan sengit dari berbagai pihak, mulai dari industri otomotif, sektor lain yang menggunakan serat karbon, hingga produsen material dan resin serat karbon itu sendiri.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)